Sarkub ~ Ini Penjelasan Kiai NU Bagi Penolak Islam Nusantara
Wacana tentang Islam Nusantara telah memunculkan perdebatan di kalangan umat Islam. Katib Syuriyah PBNU, KH Afifuddin Muhajir, mencoba memberikan penjelasan tentang apa itu sebenarnya maksud dari Islam Nusantara.
Dalam tulisannya yang dimuat dalam situs resmi NU www.nu.or.id, KH Afifuddin Muhajir, menyebutkan bahwa istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.
Menurutnya, kadang suatu perdebatan terjadi tidak karena perbedaan pandangan semata, tetapi lebih karena apa yang dipandang itu berbeda. KH Afiffuddin memberikan jawaban bagi mereka yang menolak “Islam Nusantara”.
Seperti jamak diketahui, kata KH Afifuddin, Al-Quran sebagai sumber utama Agama Islam memuat tiga ajaran. Pertama, ajaran akidah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan.
Kedua, ajaran akhlak/tasawuf, yaitu ajaran yang berintikan takhalli dan tahalli, yakni membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji. Ketiga, ajaran syariat, yaitu aturan-aturan praktis (al-ahkam al-‘amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.
Yang pertama dan kedua, kata Guru utama fiqih dan ushul fiqih di Ma’had Aly Pesantren Salafiyah As-Syafi’iyyah, Sukorejo, Situbondo ini, sifatnya universal dan statis, tidak mengalami perubahan di manapun dan kapanpun. Tentang keimanan kepada Allah dan hari akhir tidak berbeda antara orang dahulu dan sekarang, antara orang-orang benua Amerika dengan benua Asia.
Demikian juga, bahwa keikhlasan dan kejujuran adalah prinsip yang harus dipertahankan, tidak berbeda antara orang Indonesia dengan orang Nigeria. Penipuan selalu buruk, di manapun dan kapanpun. Dalam segmen keyakinan dan tuntunan moral ini, Islam tidak bisa di-embel-embeli dengan nama tempat, nama waktu, maupun nama tokoh.
Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah antara yang tsawabith/qath’iyyat dan ijtihadiyyat. Hukum-hukum qath’iyyat seperti kewajiban shalat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah.
Shalatnya orang Eropa tidak berbeda dengan salatnya orang Afrika. Puasa, dari dahulu hingga Kiamat dan di negeri manapun, dimulai semenjak Subuh dan berakhir saat kumandang azan Maghrib.
Dikatakannya, penjelasan Al-Quran dan As-Sunah dalam hukum qath’iyyat ini cukup rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.
Sementara itu, hukum-hukum ijtihadiyyat bersifat dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau kelak bisa jadi boleh.
Al-Quran dan As-Sunah menjelaskan hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan lingkungan sosial.
Para tabi’in berpendapat bahwa boleh menetapkan harga (tas’ir), padahal Nabi Muhammad SAW melarangnya. Tentu saja mereka tidak menyalahi As-Sunah.
Perbedaan putusan itu karena kondisi pasar yang berubah, yaitu bahwa pada masa Nabi SAW harga melambung naik karena kelangkaan barang dan meningkatnya permintaan, sedangkan pada masa tabi’in disebabkan keserakahan pedagang. (Nailul Authar, V, 220) Di sini, para tabi’in membedakan antara-apa yang disebut ekonomi modern dengan-pasar persaingan sempurna dari pasar monopoli atau oligopoli misalnya.
Para tabi’in juga memfatwakan larangan keluar menuju masjid untuk perempuan muda karena melihat zaman demikian rusak, banyak laki-laki berandal yang sering usil hingga berbuat jahil, (Al-Muntaqa Syarḥul Muhadzdzab, I, 342) padahal Nabi sendiri bersabda supaya jangan sampai perempuan dilarang keluar menuju masjid.
Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara.
Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI misalnya, saya benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka bukan pembela Islam.
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/08/02/nsfsf2318-ini-penjelasan-kiai-nu-bagi-penolak-islam-nusantara-part2
Gus Mus: Kaget Soal Islam Nusantara Berarti Tidak Pernah Ngaji
KH A Mustofa Bisri atau Gus Mus mengungkapkan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan.
“Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa non-Islam dengan non-Islam?” ungkap Rais ‘Aam PBNU itu saat menyampaikan tausiyah di Pengajian Pitulasan Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Ahad (12/7) malam.
Kiai yang akrab disapa Gus Mus itu merasa bingung karena kondisi Islam di Timur Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia.
“Kacau balau, antara politik dan agama sudah campur aduk ora karu-karuan. Akhirnya terjadi di negara-negara yang penduduknya mayoritas tidak muslim timbul Islamophobia. Ketika melihat orang Islam, pada ketakutan karena takut dibunuh, takut dibom,” sindir Gus Mus.
“Pokoknya yang anti Islam semakin lama semakin meningkat gara-gara umat Islam yang tidak mencerminkan keislaman yang rahmatan lil alamin, tapi justru laknatan lil alamin,” tambah Gus Mus di hadapan ratusan hadirin.
Untuk itulah, lanjut Gus Mus, NU membuat tema muktamar tentang Islam Nusantara. “Tapi geger, kaget-kaget bagi orang yang tidak pernah ngaji. Kalau pernah ngaji pasti tahu idhofah (penyandaran) mempunyai berbagai makna, dalam arti mengetahui kata Islam yang disandarkan dengan kata Nusantara,” jelasnya.
Gus Mus mencontohkan istilah “air gelas” apakah maknanya airnya gelas, apa air yang digelas, apakah air dari gelas, apa gelas dari air. padahal bagi santri di pesantren sudah diajari untuk memahami seperti itu.
Secara sederhana, Gus Mus menjelaskan maksud Islam Nusantara yakni Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang yang diajarkan Walisongo. “Islam ngono iku seng digoleki wong kono (Islam seperti itu yang dicari orang sana), Islam yang damai, guyub (rukun), ora petentengan (tidak mentang-mentang), dan yang rahmatan lil ‘alamin,” terangnya.
Walisongo menurut Gus Mus, memiliki ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad. “Walisongo tidak hanya mengajak bil lisan, tapi juga bil hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam,” tegas Gus Mus. (Zidni Nafi’/Fathoni)
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,60914-lang,id-c,nasional-t,Gus+Mus++Kaget+Soal+Islam+Nusantara+Berarti+Tidak+Pernah+Ngaji-.phpx
Soal Islam Nusantara, Kiai Ishomuddin: Jangan Berprasangka Buruk
Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin menanggapi beberapa pernyataan dari berbagai kalangan dan tokoh yang dimuat diberbagai media dengan membuat definisi serta menafsirkan sendiri makna Islam Nusantara.
Menurut kiai muda asal Pringsewu ini, istilah Islam Nusantara memang sedang hangat di bicarakan dan dibahas oleh berbagai kalangan setelah diangkat menjadi tema utama Muktamar ke-33 NU yaitu "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia Dan Dunia".
"Jangan berprasangka buruk mengenai gagasan Islam Nusantara. Dialog dulu kalau belum paham, jangan buat definisi secara serampangan," ajaknya ketika dihubungi NU Online via telepon, Selasa (14/7). Ulama muda dan energik ini menjelaskan, bahwa istilah Islam Nusantara sebenarnya sudah ada dan menjadi bahasan sebelum menjadi tema Muktamar NU.
Menurutnya, konsep yang dibawa Islam Nusantara adalah bagaimana wajah Islam di Indonesia dan negara-negara serumpun disekitar Indonesia bisa menjadi contoh bagi Islam di negara lain di penjuru dunia.
"Islam Nusantara bukan mau mengganti Islam yang diturunkan di Negara Arab, namun mengusung misi membawa ajaran Islam yang moderat, saling menghargai, dan menghormati yang merupakan ciri budaya Indonesia," jelasnya.
Apalagi, tambahnya, Islam Nusantara yang terkenal dengan wajah muslim Indonesia yang moderat sudah menjadi topik diskusi antara para pemuka agama, pengamat, diplomat di kantor pusat PBB di New York beberapa waktu yang lalu.
“Dengan demikian, Islam Nusantara mendapat sambutan positif dari negara lain di dunia karena terbukti menunjukkan keragaman, toleransi dan demokrasi dengan baik,” paparnya.
Kesemua pernyataannya ini merupakan respon terhadap anggapan orang di salah satu acara pencarian bakat di stasiun televisi baru-baru ini mengenai pencoretan istilah Islam Nusantara.
Menurutnya, pernyataan tersebut sebenarnya tidak patut untuk dikeluarkan karena cenderung menyerang. Oleh karena itu, lanjut Kiai Ishom mengajak kepada segenap pihak yang belum paham untuk tidak berprasangka buruk terhadap istilah dan konsep Islam Nusantara. (Muhammad Faizin/Fathoni)
0 komentar:
Posting Komentar